Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa diantara ciri orang-orang yang celaka -yaitu orang-orang yang berpaling dan tidak mau memetik pelajaran dari kalam Allah (al-Qur’an)- bahwa mereka itu menyukai permainan seruling, lagu-lagu dengan nada yang mendayu-dayu dan disertai iringan alat-alat musik.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang membeli perkataan yang sia-sia…” (Luqman : 6). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah, itu adalah nyanyian.” Termasuk di dalam kategori ‘perkataan yang sia-sia’ itu adalah semua perkataan yang membuat manusia berpaling dari ayat-ayat Allah dan meninggalkan jalan-Nya, sebagaimana tafsiran Imam Ibnu Jarir (lihat keterangan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/330-331)
Imam asy-Syaukani rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘perkataan yang sia-sia’ itu adalah semua perkataan yang membuat manusia lalai dari kebaikan, baik berupa nyanyian, alat-alat musik, cerita-cerita bohong, dan segala ucapan yang mungkar. Beliau juga menyebutkan tafsiran dari Hasan al-Bashri rahimahullah -seorang ulama tabi’in- bahwa yang termasuk perkataan sia-sia itu adalah nyanyian dan alat-alat musik. Diriwayatkan pula darinya bahwa termasuk dalam perkataan sia-sia itu adalah syirik dan kekafiran. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa pendapat paling utama untuk menafsirkan ungkapan tersebut adalah nyanyian dan ini merupakan pendapat para sahabat dan tabi’in (lihat keterangan Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsirnya Fat-hul Qadir, hal. 1140)
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam al-Adab al-Mufrad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud dari ayat (yang artinya), “Diantara manusia ada orang-orang yang membeli perkataan yang sia-sia.” (Luqman : 6). Beliau berkata, “Itu adalah nyanyian dan yang sejenis dengannya.” (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad, 3/366)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan ada diantara umatku ini orang-orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera (bagi lelaki), khamr, dan alat-alat musik…” (HR. Bukhari). Yang dimaksud ‘menghalalkan’ dalam hadits ini adalah mereka melakukannya seperti orang yang menganggap bahwa hal itu halal, bahkan mereka tidak peduli alias tidak merasa bersalah. Dan telah ada di masa kita sekarang ini orang-orang yang hobi mendengarkan/memainkan alat musik seolah-olah itu adalah sesuatu yang halal (lihat ash-Shiyam fil Islam karya Syaikh Sa’id al-Qahthani hafizhahullah, hal. 243)
Imam Malik rahimahullah imamnya para penduduk Madinah pernah ditanya mengenai nyanyian yang konon katanya ada rukhshah/keringanan untuk didengarkan menurut para penduduk Madinah. Beliau menjawab, “Yang melakukan itu diantara kami hanyalah orang-orang fasik/pelaku dosa besar.” (lihat Ighotsatul Lahfan karya Ibnul Qayyim rahimahullah, 1/411, lihat juga al-Ikhtiyarat al-‘Ilmiyyah li asy-Syaikh al-Albani, hal. 435)
Imam al-Khallal rahimahullah meriwayatkan dari Ibrahim bin al-Mundzir -seorang ulama Madinah, tsiqah/terpercaya- bahwa beliau ditanya, “Apakah kalian [ulama Madinah] memberikan keringanan/rukhshah untuk mendengar nyanyian?” beliau menjawab, “Kami berlindung kepada Allah! Tidaklah melakukan hal ini diantara kami -penduduk Madinah- kecuali orang-orang fasik.” (lihat al-Ikhtiyarat al-Ilmiyyah, hal. 435)
Imam Abu Bakr ath-Thurthusi rahimahullah mengatakan, “Adapun [Imam] Abu Hanifah, sesungguhnya beliau membenci/mengharamkan nyanyian, dan beliau menganggapnya termasuk perbuatan dosa.” (lihat Ighotsatul Lahfan, 1/412)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Sesungguhnya nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci dan sesuatu yang menyerupai kebatilan dan mengada-ada. Barangsiapa sering-sering mendengarkan/melantunkan nyanyian maka dia adalah orang yang safih/dungu dan tertolak persaksian darinya [di sidang pengadilan, pent].” (lihat Ighotsatul Lahfan, 1/413)
Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya mengenai nyanyian, beliau rahimahullah menjawab, “Nyanyian menyebabkan tumbuhnya kemunafikan di dalam hati. Aku tidak tertarik padanya.” Kemudian beliau mengutip perkataan Imam Malik, “Yang melakukan hal itu diantara kami hanyalah orang-orang fasik.” (lihat al-Ighotsah, 1/418)
Imam Ahmad juga menukil ucapan Sulaiman at-Taimi rahimahullah, “Seandainya kamu memilih rukhshah/keringanan dari semua orang yang berilmu -atau ketergelinciran setiap orang berilmu- niscaya terkumpul pada dirimu semua keburukan.” (lihat al-Ighotsah, 1/418)
Tidak mendengarkan nyanyian adalah salah satu ciri hamba-hamba Allah yang salih. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur/penyimpangan.” (al-Furqan : 72). Muhammad bin al-Hanafiyah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud az-zuur/penyimpangan di sini adalah nyanyian.” Penafsiran serupa juga diriwayatkan oleh Laits bin Sa’ad dari Mujahid rahimahumallah (lihat al-Ighotsah, 1/435)
Sering mendengarkan nyanyian akan menyuburkan sifat kemunafikan di dalam hati. Inilah yang dipahami oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat al-Ighotsah, 1/444). Demikian pula yang ditegaskan oleh adh-Dhahhak rahimahullah, beliau mengatakan, “Nyanyian akan merusak hati dan membuat murka Rabb [Allah].” (lihat al-Ighotsah, 1/448)
Kita memohon kepada Allah taufik kepada ilmu yang bermanfaat dan amal salih.